oleh : Achmad Nurohim
Pendidikan karakter dapat dimaknai sebagai proses penanaman nilai esensial pada diri anak melalui serangkaian kegiatan pembelajaran dan pendampingan sehingga para siswa sebagaiindividu mampu memahami, mengalami, dan mengintegrasikan nilai yang menjadi nilaiinti (core values) dalam pendidikan yang dijalaninya ke dalamkepribadiannya.
Menurut Ali Ibrahim Akbar(2009), praktik pendidikan di Indonesia cenderung lebih berorentasi padapendidikan berbasis hard skill(keterampilan teknis) yang lebih bersifat mengembangkan intelligence quotient(IQ), namun kurang mengembangkan kemampuansoftskill yang tertuang dalam emotionalintelligence (EQ), dan spiritualintelligence (SQ). Pembelajaran diberbagai sekolah bahkan perguruan tinggilebih menekankan pada perolehan nilai hasil ulangan maupun nilai hasil ujian.Banyak guru yang memiliki persepsi bahwa peserta didik yang memiliki kompetensiyang baik adalah memiliki nilai hasil ulangan/ujian yang tinggi.
Seiring perkembangan jaman, pendidikan yang hanya berbasiskan hard skill yaitu menghasilkan lulusan yang hanya memiliki prestasi dalam akademis, harus mulai dibenahi. Sekarang pembelajaran juga harus berbasis pada pengembangan soft skill(interaksi sosial) sebab inisangat penting dalam pembentukan karakter anak bangsa sehingga mampu bersaing,beretika, bermoral, sopan santun dan berinteraksi dengan masyarakat. Pendidikansoft skill bertumpu pada pembinaanmentalitas agar peserta didik dapat menyesuaikan diri dengan realitaskehidupan. Kesuksesan seseorang tidak ditentukan semata-mata oleh pengetahuandan keterampilan teknis (hard skill)saja, tetapi juga oleh keterampilan mengelola diri dan orang lain (soft skill).
Pengertian karakter menurut Pusat BahasaDepdiknas adalah “bawaan, hati, jiwa,kepribadian, budi pekerti, perilaku, personalitas, sifat, tabiat, temperamen,watak”. Adapun berkarakter adalah berkepribadian,berperilaku, bersifat, bertabiat, dan berwatak”. Menurut Tadkiroatun Musfiroh(UNY, 2008), karakter mengacu kepada serangkaian sikap (attitudes), perilaku (behaviors),motivasi (motivations), danketerampilan (skills). Karakterberasal dari bahasa Yunani yang berarti ‘to mark’ atau menandai danmemfokuskan bagaimana mengaplikasikan nilai kebaikan dalam bentuktindakan atau tingkah laku, sehingga orang yang tidak jujur, kejam, rakus danperilaku jelek lainnya dikatakan orang berkarakter jelek. Sebaliknya, orangyang perilakunya sesuai dengan kaidah moral disebut dengan berkarakter mulia. (Modul Pendidikan Karakter)
Adapun Sulhan (2010) mengemukakan tentang beberapa langkahyang dapat dikembangkan oleh pesantren dalam melakukan proses pembentukankarakter pada santri. Adapun langkah tersebut adalah sebagai berikut:
1. Memasukan konsep karakter padasetiap kegiatan pembelajaran dengan cara:
· Menambahkan nilai kebaikan kepada santri (knowing thegood)
· Menggunakan cara yang dapat membuat santri memiliki alasanatau keinginan untuk berbuat baik (desiring the good)
· Mengembangkan sikap mencintai untuk berbuat baik (lovingthe good)
2. Membuat slogan yang mampumenumbuhkan kebiasaan baik dalam segala tingkah laku masyarakat sekolah/pesantren.
3. Pemantauan secara kontinue.Pemantauan secara kontinyu merupakan wujud dari pelaksanaan pembangunan karakter.Beberapa hal yang harus selalu dipantau diantaranya adalah:
· Kedisiplinan masuk pesantren,
· Kebiasaan saat makan di kantin,
· Kebiasaan dalam berbicara,
· Kebiasaan ketika di masjid,
· Kebiasaan ketika mengikutikegiatan-kegiatan pesantren, dll
Sementara Koesoema (2010) memberikan formula bahwapendidikan karakter jika ingin efektif dan utuh harus menyertakantiga basis desain dalam pemogramannya.
1. Desain pendidikan karakterberbasis kelas. Desain ini berbasis pada relasi guru/ustad sebagai pendidik dansiswa/santri sebagai pembelajar di dalam kelas. Konteks pendidikan karakteradalah proses relasional komunitas kelas dalam konteks pembelajaran. Relasiguru-pembelajar bukan monolog, melainkan dialog dengan banyak arah sebabkomunitas kelas terdiri atas guru dan siswa yang sama-sama berinteraksi denganmateri. Memberikan pemahaman dan pengertian akan keutamaan yang benar terjadidalam konteks pengajaran ini, termasuk di dalamnya pula ranah non-instruksional,seperti manajemen kelas, konsensus kelas, dan lain-lain, yang membantuterciptanya suasana belajar yang nyaman. Dalam konteks pendidikan karakter dipesantren, kegiatan rutin proses pembelajaran harian dilaksanakan di lingkunganmasjid/madrasah dengan ustad/ustadzah bertindak sebagai fasilitator, mediatordan modeling.
2. Desain pendidikan karakter berbasiskultur sekolah/pesantren. Desain ini mencoba membangun kultur sekolah/pesantrenyang mampu membentuk karakter anak didik dengan bantuan pranata sosialsekolah/pesantren agar nilai tertentu terbentuk dan terbatinkan dalam dirisiswa/santri. Untuk menanamkan nilai kejujuran tidak cukup hanya denganmemberikan pesan-pesan moral kepada anak didik. Pesan moral ini mesti diperkuatdengan penciptaan kultur kejujuran melalui pembuatan tata peraturan sekolah yangtegas dan konsisten terhadap setiap perilaku ketidakjujuran. Dalam kontekspendidikan karakter di pesantren, implementasi desain pendidikan karakterberbasis kultur sekolah/pesantren dilaksanakan dengan menata lingkungan fisiksekolah/pesantren dan pembuatan tata tertib sekolah/pesantren yang bernuansanilai-nilai Islam, hal tersebut relevan dengan core pilar karakter yaknicinta kepada Allah dan segenap ciptaanya.
3. Desain pendidikan karakter berbasiskomunitas. Dalam mendidik, komunitas sekolah tidak berjuang sendirian.Masyarakat di luar lembaga pendidikan, seperti keluarga, masyarakat umum, dannegara, juga memiliki tanggung jawab moral untuk mengintegrasikan pembentukankarakter dalam konteks kehidupan mereka. Ketika lembaga negara lemahdalam penegakan hukum, ketika mereka yang bersalah tidak pernah mendapatkansanksi yang setimpal, negara telah mendidik masyarakatnya untuk menjadi manusiayang tidak menghargai makna tatanan sosial bersama. Dalam kontekspendidikan karakter di pesantren, implementasi desain pendidikan karakterberbasis komunitas dikembangkan dengan membuat kelompok-kelompok belajar danmengembangkan program pengembangan diri.
Selain pendekatan di atas, minimal terdapat empat strategiyang bisa menjadi alternatif pendidikan karakter di pesantren:
1. Pendekatan Normatif, yakni mereka (perangkat pesantren)secara bersama-sama membuat tata kelela (good governence) atau tatatertib penyelenggaraan pesantren yang didalamnya dilandasi oleh nilai-nilaipendidikan karakter/akhlak, perumusan tata kelola ini penting dibuat secarabersama, bahkan melibatkan santri dan tidak bersifat top downdaripimpinan pesantren. Sehingga terlahir tanggung jawab moral kolektif yangdapat melahirkan sistem kontrol sosial, yang pada giliranya mendorongterwujudnya institution culture yang penuh makna.
2. Pendekatan Model yakni mereka (perangkat pesantren),khususnya pimpinan pesantren berupaya untuk menjadi model dari tata tertib yangdirumuskan, ucap, sikap dan prilakunya menjadi perwujudan dari tata tertib yangdisepakati bersama.
3. Pendekatan Reward and Punishmen yaknidiberlakukanya sistem hadiah dan hukuman sebagai stimulus dan motivator terwujudnyatata kelola yang dibuat.
4. Pendekatan Suasana Belajar (baik suasana fisik maupunsuasana psikis) yakni dengan mengkondisikan suasana belajar agar menjadi sumberinspirasi penyadaran nilai bagi seluruh perangkat pesantren, termasuk parasantri, seperti dengan memasang visi pesantren, kata-kata hikmah,ayat-ayat Al qur’an dan mutiara hadis di tempat-tempat yang selaluterlihat oleh siapapun yang ada di pesantren, memposisikan bangunan masjid diarena utama pesantren, memasang kaligrafi di setiap ruangan belajar santri,membiasakan membaca Al qur’an setiap mengawali belajar dengan dipimpin ustad,program shalat berjamaah, kuliah tujuh menit, perlombaan-perlombaan dansebagainya. (Sofyan Sauri. 2011)
C. Faktoryang mempengaruhi pendidikan karakter pesantren
Terdapatdua faktor yang mendukung eksistensi pendidikan karakter pondok pesantren,yaitu meliputi faktor intern dan ekstern.
1. Faktor Internal
Pertama,Faktor Kemandirian: secara kelembagaan pondok pesantren mempunyai kemandirian.Kemandirian itu tercermin dalam figure kyai sebagai pemimpin dan pengasuh yangmempunyai otoritas penuh terhadap keseluruhan yang ada dilingkungan pesantren.Maju-mundurnya pesantren sangat tergantung dari ketokohan kyai yang memimpindan mengasuhnya. Tradisi yang digunakan untuk menentukan kyai pengasuh pondokadalah tradisi turun-temurun diambil dari putra tertua laki-laki. Gambaranpondok pesantren seperti ini menunjukkan, bahwa dalam sistem tersebutmenyerupai sebuah kerajaan kecil. Selain itu, kekuatan kemandirian jugatercermin dalam sisten pendidikannya. Pondok pesantren dalan menjalankanpendidikannya cukup mandiri dan merdeka, serta tidak terikat oleh suatuinstitusi atau lembaga lainnya. Ini ditentukan melalui kurikulum sistempengajaran yang digunakan pengajar maupun lulusannya. Disamping itu, sistempendidikan dan pengajaran di pondok pesantren dikenal dengan "sistempondok". Dengan sistem ini, proses pendidikan dan pengajaran berIangsungterus menerus. Pengajaran dan pendidikan berlangsung, baik dalam kelas maupundi luar kelas,siang maupun malam.
Dalam sistem ini pula, hubungan antara ustadz atau kyai dengan santri atausiswa berlangsung dalam setiap waktu sehingga terpadu suasana perguruan dankekeluargaan. Sistem pondok, dapat dikatakan sebagai pendidikan dan kemandirianlangsung yang dilakukan oleh santri atau siswa santri atau siswa jugadihadapkan pada kehidupannya sendiri, yaitu pengaturan diri sendiri dari sejakpengambilan keputusan sampai pelaksanaannya. Solidaritas tumbuh secara wajar.Santri belajar saling menghormati dan menghargai, serta tenggang rasa. Sikapdan sifat keterbukaan dapat berkembang secara baik, sifat isolatif kurang atautidak mendapatkan tempat. Santri atau siswa berkompetisi secara sehat dalamproses meraih prestasi.
Maksudnya, santri atau siswa tidak hanya melihat Prestasi dari santri atausiswa lainnya, tetapi santri atau siswa dapat belajar langsung dari temannya,bagaimana cara meraih prestasi: cara belajar, membagi waktu dalam tugas, danlain sebagainya. Disinilah akan didapatkan sifat jujur untuk dirinya dan padayang lain.
Keberhasilan dalam sistem pondok tidak lepas dari peranan kyai atau guru dalammemberikan pengaturan, pengawasan dan bimbingan yang disertai denganketeladanan yang murni sebagai landasannya. Kemandirian Ini yang dimilikipondok pesantren adalah dalam pendanaan operasional, dimana pesantren lebihmengutamakan pada santri dan masyarakat pendukungnya yang nantinya tidakmengikat pada kebijaksanaan pondok pesantren. Pembiayaan pondok pesantrenhampir seluruhnya datang dari santri dan sebagian lain dari Masyarakatpendukung pondok pesantren. Sifat kemandirian dalam pembiayaan adalahkeberhasilan dari lembaga pondok pesantren yang telah mampu menjalin jaringanaksi, baik terhadap lembaga pemerintah dan masyarakat.
Kedua, Faktor Sistem Nilai dan Kultur: sistem Nilai dan Kultur yang didukungdan hidup di lingkungan pesantren lebih kuat dibandingkan dengan sistem nilaidan kultur di luar. Sistem nilai kultur yang hidup dan didukung oleh lingkunganpesantren, dapat ditelusuri dari ajaran pembentuk kehidupannya. Nilai dankultur pesantren begitu tertanam kuat di kalangan santri sehingga setiap santribertanggung jawab atas kelangsungan nilai dan kultur yang hidup dandidukungnya. Nilai dan kultur itu tercermin dalam sikap hidup, tradisi yangberlaku, serta seni yang hidup, dimana semuanya bersumber dan ajaran agamaIslam.
2. Faktor Eksternal
Pertama,ditinjau secara kelembagaan, yaitu terdapat banyak "langgar-langgar"yang tersebar hampir d seluruh desa. Langgar merupakan lembaga pendidikan Islamtradisional yang mempunyai banyak kesamaan dengan pondok pesantren. Bedanyahanya terletak pada santri tidak menetap dalam pondok. Sedangkan dalam sistempendidikan dan pengajarannya, secara keseluruhan menyerupai pondok pesantren.
Langgarbiasanya didirikan oleh seorang Kyai yang sebelumnya telah belajar ilmu agamaIslam di pondok pesantren. Lembaga langgar merupakan faktor pendukung utamabagi eksistensinya pondok pesantren karena dari lembaga inilah penyebaraninformasi oleh seorang Kyai dapat berlangsung. Jadi kedudukan lembaga langgaradalah lembaga Islam tradisional tingkat dasar.Kedua, masyarakat Islamtradisional yang tersebar di wilayah pedesaan dilihat dari mata pencaharianmasyarakat Islam tradisional adalah petani, buruh, pedagang, dan sebagian kecilpegawai. Pondok pesantren mempunyai pengaruh yang besar terhadap masyarakatIslam tradisional karena antara keduanya mempunyai hubungan tradisionaI, dimanapondok pesantren memberikan bimbingan keagamaan, pelayanan pendidikan, sertakepemimpinan infomal. Sementara sebagai timbal baliknya, masyarakat Islamtradisional memberikan sumbangan dalam pendanaan, baik melalui infak dansadaqah, maupun melalui santri-santri yang belajar dipesantren. (R. Syehha A M)
Dalam tradisi pesantren, metode dan sistem pengajaran, memiliki model-modelklasikal, yaitu sistem pengajaran individual dengan menggunakan metode sorogandan wetonan. Di daerah Jawa Barat metode wetonan disebut metodebandongan, sedangkan di daerah Sumatera dikenal dengan metode halaqah.Dua metode tersebut, sorogan dan wetonanmerupakan ciri khasdalam pengajaran di pesantren, sekaligus sebagai metode yang tertua dan utamadalam pengajaran kitab-kitab klasik (kitab kuning).
Kedua metode tersebut telah bertahan sejak awal sejarah Islam di Indonesiahingga sekarang dan terus dilestarikan, terutama di pondok pesantren salaf.Metode sorogan, yaitu cara mengajar dimana santri menghadap kyai atauustadz seorang demi seorang, dengan menyodorkan kitab yang dipelajarinya. Carapengajarannya yaitu kyai atau ustadz membacakan dan atau menyimak kitab yangberbahasa arab gundul (tanpa sandang apapun/harakat), kalimat demi kalimatkemudian diartikannya dalam bahasa Jawa, baru kemudian kyai atau ustadzmenjelaskan secara keseluruhan. Kegiatan santri adalah menyimak sambil membericatatan-catatän kecil dibawah atau disamping, atau ngesahiteks Arabsebagai bukti bahwa bagian tersebut telah dipelajari.
Metode sorogan merupakan sistem pengajaran individual yang sangat baik.Kyai atau ustadz dengan santri dapat langsung berinteraksi sehingga prosespengajaran dan pendidikan akan lebih bermakna. Pengajaran dengan metode soroganmerupakan bagian yang paling sulit dalam keseluruhan sistem pendidikan karenamenuntut kesabaran, ketekunan, ketaatan dan kedisiplinan santri. Kehandalan danpenggunaan sistem ini telah terbukti sangat efektif dan selektif sebagai tarafdasar, atau awal bagi seorang santri dapat meraih gelar seorang yang alim.
Selainmetode diatas terdapat juga metode lain, yaitu metode musyawarah (bahtsulmasa’il).Santri dihadapkan pada masalah yang nyata di hadapi masyrakat kemudian mereka di tuntutuntuk menyelesaikan masalah tersebut. Sering kali karena perbedaan perspektifdalam menyikapi suatu masalah terjadi perdebatan yang alot di antara mereka,dan pada penyikapan ini mereka juga dituntut untuk bertanggung jawab dalammenyampaikan pendapatnya sehingga landasan literature mutlaq diperlukan.Dan kitab kuninglah yang menjadi acuanya. Tujuan dari bahtsul masail ini bahwapara santri di harapkan mampu menghadapi masalah yang sedang di alami olehmasyarakat sehingga apa yang mereka pelajari bukanlah hal yang mengawangdilangit akan tetapi merupakan realitas nyata dan oleh karena itu problem yangdi ajukan juga selalu terkait dengan masyarakat. Dan posisi seorang Kyai hanya menjadi fasilitator,membimbing, dan sebagai narasumber terakhir apabila santri mengalami kesulitan.(Sofyan Sauri. 2011).
Dari deskripsi diatas sangat tidakberlebihan kalau dikatakan bahwa Pesantren salah satu lembaga yang mempunyaiperan signifikan dan kontribusi besar dalam pembentukan dan pembangunan karakter dan kapasitas bangsa (characterand capasity building). Dalam penerapan pendidikannya pesantrean lebihmengedepankan kepada serangkaian sikap (attitudes), perilaku (behaviors), motivasi (motivations), dan keterampilan (skills). Oleh karena itu dalam momentum haripendidikan nasional (hardiknas) ini kita juga patut memberikan apresiasi yangtinggi terhadap keberhasilan pendidikan Pondok Pesantren. Wa Allâhua’lam bi al-shawâb.
No comments:
Post a Comment